SEBAGIAN orang Surakarta--lebih dikenal dengan nama Solo--pasti tahu Silir. Kampung di Kelurahan Semanggi, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta itu dikenal dengan dunia prostitusi. Tetapi itu cerita masa lalu pada era 80-90-an. Kini wajah Silir sudah berubah.
Daerah yang dulunya dihindari sebagai tempat tinggal itu kini justru diburu dan digemari. Silir telah menjelma menjadi sebuah kawasan permukiman baru warga Solo.
Tanah yang dulu ibaratnya dijual obral saja tidak ada yang berminat, sekarang naik harga. Itu sebuah parameter paling umum meningkatnya gengsi sebuah kawasan.
Perubahan wajah Silir itu tentu tidak serta-merta. Jika dicari siapa orang yang memainkan peran besar atas perubahan tersebut, jawabnya ialah Sarjoko.
Putra asli Kampung Silir inilah yang merintis dan getol memperjuangkannya puluhan tahun silam, kendati dia sendiri selalu menolak disebut seperti itu.
Sarjoko terpanggil melakukan perubahan lantaran terpukul batinnya. Dia sering diejek sebagai anak Silir, yang kala itu berkonotasi negatif. Olok-olok serupa juga menimpa generasi anak-anaknya, beberapa di antaranya bahkan sampai berhenti sekolah karena tidak kuat.
Ejekan tersebut memang memerahkan telinga, tetapi tidak sampai membuat hati dan akal Sarjoko terbakar. Dia tidak pernah membalasnya.
Semakin diledek, semakin subur pula niat Sarjoko untuk melakukan perubahan. "Kenapa saya harus marah dipanggil Silir kalau saya bisa mengubah keadaannya menjadi baik," katanya menggambarkan tekadnya saat itu.
Hanya berbekal semangat dan niat yang membaja, Sarjoko pun memulai misinya. Bukan dengan ceramah atau kata-kata yang bernada menggurui, melainkan lewat tindakan nyata.
Dengan sabar dia menyambangi rumah-rumah yang dijadikan tempat mangkal para pekerja seks komersial (PSK) dan mengajak mereka bergabung dalam kelompok belajar yang dibentuknya.
Sarjoko mengajari mereka beragam keterampilan, sembari sesekali menyelipkan nasihat agar mereka meninggalkan pekerjaan itu.
Pelatihan keterampilan bagi PSK secara intens mulai dilakukan Sarjoko sejak 2000 lalu.
Karena tidak memiliki tempat belajar, kegiatan itu dilakukan dari rumah ke rumah, tidak terkecuali di rumahnya. Kebetulan istri Sarjoko, Natalis Pujiani, sangat mendukung niat baik suaminya itu.
Mendekati PSK dan mengajar mereka belajar bersama tidaklah mudah. Jauh lebih sulit lagi menghadapi orang-orang yang merasa diuntungkan dengan keberadaan para PSK itu. Sarjoko sudah siap mental menghadapi konsekuensinya.
Di masa-masa awal dia menjalankan misinya, bukan sekali dua dia didatangi preman yang mengancam agar menghentikan misinya. Tidak terhitung lagi berapa kali pintu rumahnya digedor orang di tengah malam.
"Alhamdulillah, sampai saat ini tidak terjadi apa-apa. Mungkin karena niat awalnya baik," katanya diiringi senyum.
Tidak hanya preman, kecaman terhadap misi Sarjoko juga datang dari warga setempat. Bahkan, dia pun harus rela melepas jabatan sebagai sekretaris rukun warga (RW) karena didemo warga yang tidak setuju dengan upayanya itu.
Totalitas
Upaya Sarjoko mengentaskan PSK dari lembah hitam bukan setengah hati. Selain mengajarkan keterampilan, dia juga berlaku sebagai 'bapak'. Apa yang bisa dilakukan untuk membantu mengatasi kesulitan asuhannya, ia lakukan. Mulai dari menguruskan akta kelahiran untuk anak-anak mereka hingga menikahkan, sekalipun lebih sering melalui program nikah massal.
Bukan cuma waktu, tenaga, dan pikiran yang dicurahkan Sarjoko, melainkan juga harta. Ketika ada asuhannya yang terbelit kebutuhan, Sarjoko yang sehari-hari bekerja sebagai pemotong ayam itu merelakan sebagian penghasilannya untuk membantu. Dia ingin betul-betul berlaku sebagai pamong yang baik.
Untuk semua jerih payah dan pengorbanannya itu, Sarjoko mengaku tidak mengharapkan pamrih atau penghargaan apa pun. Dia telah cukup bahagia bisa berbuat sesuatu yang bermanfaat untuk sesama.
"Ya, saya hanya ingin memanfaatkan sisa umur ini sebaik mungkin," katanya pelan.
Seiring berjalannya waktu, sedikit demi sedikit, perlahan namun pasti upaya Sarjoko mulai menunjukkan hasil. PSK yang dapat direkrutnya semakin banyak, dan satu demi satu mulai meninggalkan aktivitasnya. Hingga saat ini tercatat sudah ada 45 orang mantan PSK yang dapat dientaskan.
Mereka kembali ke tengah masyarakat berbekal keterampilan dari sanggar Sarjoko. Mulai dari menjadi penjahit, membuka warung makan, dan kegiatan usaha positif lainnya, sesuai dengan kemampuan masing-masing.(M-1)
http://www.mediaindonesia.com/read/2012/01/13/291042/270/115/Menantang-Badai-demi-Silir
mantabBB
BalasHapusSubhanaLLah, dakwah bil haL :)
BalasHapus